Pentingnya Kajian Daya Dukung Budi Daya Rumput Laut di Wakatobi
Pada Oktober 2017, WWF-Indonesia program Southern Eastern Sulawesi Subseascape (SESS) menganalisis sumber nutrien rumput laut di enam lokasi budi daya rumput laut di Wakatobi, yaitu Desa Liya, Desa Sombano, Desa Horuo, Desa Balasuna, Desa Langge dan Desa Derawa. Empat dari lima Desa tersebut mengalami masalah hama yang menyebabkan penurunan produksi sehingga pengambilan data kualitas air perlu dilakukan. Selain itu, dengan tujuan untuk mengkaji daya dukung lingkungan terhadap kesesuaian lahan pengembangan budi daya rumput laut dan pemanfaatan tata ruang lokasi, kegiatan yang dilaksanakan hingga Juni mendatang ini turut melibatkan banyak pihak, yaitu Taman Nasional Wakatobi, Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi dan Kelompok dampingan WWF-ID SESS yang berada di Desa Liya Wangi-Wangi dan Derawa Pulau Kaledupa.
Berkaca pada masa lalu, aktivitas budi daya rumput laut di Wakatobi menggunakan metode lapas dasar dimana posisi rumput laut berada di dasar air dan disanggah patok kayu yang diikat tali sepanjang 25 – 30 meter dengan jarak satu meter antar patok lainnya. Di Wakatobi sendiri, rumput laut mulai dikembangkan sejak tahun 1995 dengan jenis bibit Euchema cottoni. Sepuluh tahun berlalu, metode ini dinilai tidak cukup efektif, budi daya rumput laut yang dilakukan mengalami serangan hama yang merugikan petani. Kemudian, sistem ini diubah menjadi metode apung yang ternyata tak juga memberi perubahan yang signifikan hingga akhirnya di Tahun 2013, petani mengganti bibitnya dengan jenis rumput laut Euchema spinosum.
Meski cukup bebas dari hama dengan menggunakan metode apung, di Tahun 2017 penurunan produksi kembali terjadi karena minimnya bibit dan penurunan harga di pasar. Pasca peristiwa tersebut, petani belajar tentang tiga hal bahwa hama penyakit yang muncul sangat terkait dengan kesehatan ekosistem sekitar, bibit yang baik ternyata tak mudah diperoleh dan pasar memiliki kekuatan untuk mengintervensi harga beli rumput laut.
Sejak 2015 WWF-Indonesia telah melakukan pendampingan Aquaculture Improvement Program (AIP) untuk kelompok pembudidaya Lagundi di Desa Liya dan Kelompok Derawa di Desa Derawa yang bertujuan untuk memantau kegiatan kelompok. WWF-Indonesia juga mendorong petani untuk memperoleh bibit yang sehat dan berkualitas dengan cara membuat kebun bibit rumpu laut dari hasil kultur jaringan yang dikembangkan oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung. Sayangnya, meskipun telah menggunakan bibit unggul, namun program kebun bibit rumput laut ini belum berhasil dengan baik.
Hasil analisis pada tahun lalu menunjukkan jika sumber nutrien budi daya rumput laut milik petani Wakatobi tergolong minim, ini menyababkan rumput laut rentan terhadap hama selain pada faktor lain, seperti oksigen, kadar garam, dan tingkat keasaman. WWF-Indonesia terus berupaya membantu petani rumput laut agar rumput laut yang kekurangan nutrient bisa dihindari.
Secara umum, rumput laut telah menjadi industri akuakultur rumput laut yang besar dan berkembang di Indonesia. Indonesia mewakili 37% produksi rumput laut dunia, menghasilkan lebih dari 10 juta ton per tahun. Petani rumput laut Wakatobi telah menjadi bagian dari pelopor pertumbuhan industri rumput laut ini, meski dengan berbagai tantangan yang ada.
from DETIK INDONESIA https://ift.tt/2qAPm6D
via IFTTT
Post a Comment